Selasa, 22 April 2008

Ponsel Cina?

Tahun 2007 pasar ponsel tanah air kedatangan banyak ‘muka’ baru. Jika sebelumnya kita mengenal berbagai ponsel dengan merek terkenal seperti Nokia, Sony Ericsson, Motorola, Samsung atau LG, kini kita mulai akrab dengan ponsel bermerek Hitech, StarTech, Nexian, K-Touch atau My G. Merek-merek baru ini mengebrak pasar ponsel sejak pertengahan tahun 2007. Sampai akhir tahun, geliat mereka semakin kentara. Yang paling menonjol adalah Hitech dengan ponsel TV-nya.

Banyak tanggapan konsumen. Ada yang senang, karena kini ada pilihan ponsel dengan fitur yang lumayan kaya, tetapi harganya lebih murah. Ada juga yang skeptis, mencemooh, “Ohhh, ponsel Cina…,” katanya pendek, dengan nada sedikit mengejek. Mungkin kategorisasi ini mengacu pada sepeda motor. Ada sepeda motor Jepang (Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki), ada juga sepeda motor Cina seperti Kanzen atau Kymco. Yang pertama mengacu pada kualitas lebih tinggi. Sementara motor Cina kualitasnya masih di bawah. Mungkin ada benarnya, soalnya keempat merek motor ternama memang berasal dari Jepang. Jadi kategorisasi motor Jepang dan Cina ada benarnya juga.

Logika serupa kurang tepat jika kita sandingkan untuk ponsel. Pertanyaan besarnya adalah, apakah definisi ponsel Cina itu? Jika maksudnya adalah ponsel yang dibuat di Cina, itu artinya Nokia, Motorola, Samsung juga bisa katakana ponsel Cina karena mereka dibuat di Cina. Bahkan, menurut salah satu petinggi Nokia Indonesia, sekitar 85% produksi ponsel dunia di buat di Cina. Jadi, jika definisi ponsel Cina adalah ponsel yang dibuat di Cina, itu artinya 85% ponsel adalah ponsel Cina

Tapi, mungkin bukan itu definisi yang dimaksud. Orang mendefinsikan ponsel Cina karena produk ini dibuat di Cina dan mereknya agak asing di telinga. Sebut saja, di luar merek umum seperti Nokia, Sony Ericsson atau LG. Tapi, itupun tidak memberikan gambaran bahwa ponsel Cina memiliki kualitas yang jauh di bawah merek ponsel lainnya. Hanya saja, memang, merek merupakan sesuatu yang menjadi pertimbangan konsumen dalam membei ponsel.

Sebetulnya, bagi konsumen Indonesia, kehadiran ponsel-ponsel merek baru ini memberikan alternative pilihan yang lebih banyak. Sebagai konsumen, kita tentu membeli ponsel dan bukan membeli merek. Oleh sebab itu, sebaiknya, dalam membeli ponsel ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah soal kualitas produknya. Kelengkapan fitur, finishing produk, software yang stabil serta berbagai hal fungsional ponsel mesti diperhatikan. Setelah itu, bandingkan dengan harganya. Ketika fitur dan harga sudah dirasa cocok, yang tidak kalah penting adalah layanan purnajual produk.

Nah, disini merek-merek kesohor memang unggul. Layanan purnajualnya mencakup banyak tempat. Anda tidak perlu kuatir kehabisan sparepart dan lokasi servis center yang tidak terjangkau. Tapi, bukan berarti merek-merekj baru tidak dilengkapi dengan layanan purnajual. Hitech dan Startech misalnya, bekerjasama dengan PT Dian Graha Elektrika (DGE) untuk urusan servis center dan layanan purnajual. Sebagaimana diketahui, DGE adalah perusahaan yang menjadi distributor ponsel Siemens, BenQ dan Benq-Siemens. Sebaran outletnya mencakup ke seluruh Indonesia.

Ponsel Merek Asli Indonesia

Pasar ponsel kini sedang dimasuki oleh berbagai merek baru. Sebelumnya merek-merek seperti Nokia, Motorola, Sony Ericsson, Samsung, LG atau Benq-Siemens yang selalu terdengar mendominasi pasar. Merek-merek besar lain seperti Mitsubishi, Kyocera, Alcatel, Sagem, dan Siemens sempat menjajal pasar Indonesia, tetapi kemudian berguguran. Ada merek yang dulu pernah eksis, menghilang, lalu sekarang tampil lagi. Philips, misalnya. Nah, kini kita juga mengenal berbagai merek lain, bahkan sebagian mereka adalah merek asli Indonesia. Sebut saja Hitech, StarTech dan Nexian yang secara langsung mengakui bahwa produknya merupakan merek Indonesia asli. Sebetulnya ada juga beberapa merek lain seperti Beyond, K-Touch, D-One, Ozon, Kozi, Taxco, Lotus, atau Mito. Mereka sudah ada di pasar, tetapi tidak secara tegas mengakui negara asal merek tersebut.

Bagaimana respon mayarakat terhadap berbagai ponsel merek baru ini? Sepertinya lumayan. Sebagai contoh, Hitech dengan ponsel TV-nya berhasil membuat fenomena dengan angka penjualan yang lumayan. Bahkan dalam beberapa catatan, jumlah penjualannya melampaui berbagai tipe ponsel merek terkenal. Kekuatannya, ada pada kualitas produk, keunikan fitur dan harga yang murah!

Banyak orang masih meragukan jaringan servis center merek-merek baru tersebut, tetapi sebagian besar pemain ponsel merek baru ini bukan orang baru dalam soal perdagangan ponsel. Mereka memiliki jaringan sangat luas, menguasai jalur distribusi, dan memahami betapa pentingnya servis center. Hitech dan Startech, misalnya, menggandeng DGE yang sangat berpengalaman dalam soal servis center ponsel Siemens. Jaringan DGE juga tersebar luas di seluruh Indonesia.

Banyak orang bertanya, di negara manakah ponsel-ponsel tersebut di buat? Jawabnya tentu : Cina! Sama dengan Nokia, Motorola, atau Samsung, yang kini juga mengandalkan Cina untuk membuat produknya. Beberapa waktu lalu, memang orang masih ragu dengan kualitas ponsel buatan Cina. Tetapi dengan adanya proses transfer teknologi dari merek-merek terkenal yang membangun pabrik di Cina, akhirnya industri pabrikan ponsel disana mulai meningkatkan kualitas produknya. Bolah dibilang, saat ini ponsel-ponsel buatan Cina sudah memiliki kualitas dan kemampuan setara dengan ponsel bermerek lainnya, yang juga dibuat di Cina. Memang, persoalannya pada kontrol kualitas produk. Proses ini harus dilakukan sedemikian rupa oleh para pengembang merek ponsel asli Indonesia, agar dapat sejajar dengan merek-merek besar lainnya. Disinilah, diperlukan konsistensi dan keseriuasan.

Yang menarik, dengan kualitas yang mulai terjaga, ponsel-ponsel merek baru ini datang dengan fitur-fitur unik. Hitech memperkenalkan ponsel TV H38, yang akan dilanjutkan dengan H382 dan H39. Ponsel dengan fitur TV analog ini dijual dengan harga di bawah Rop 2 jutaan. Bisa dibayangkan jika yang memiliki fitur ini adalah ponsel merek Nokia, Motorola atau Sony Ericsson. Dipastikan harganya tidak akan kurang dari Rp 4 jutaan. Ada juga merek lain seperti Taxco atau Nexian dengan fitur dual GSM-CDMA. Jika Samsung menjual ponsel dengan fitur GSM-CDMA di angka Rp 4 jutaan, sementara Taxco dan Nexian hanya melepas ponsel dengan fitur yang sama seharga Rp 2 jutaan.

Harga murah, kualitas yang semakin terjaga, dan fitur yang beragam, membuat peluang ponsel merek asli Indonesia memiliki kesempatan bersaing dengan merek-merek besar lainnya. Perkembangannya konsumen juga makin rasional. Merek, kekayaan fitur, kualits produk, jaminan purna jual, plus harga yang rasional, akan menjadi pertimbangan penting pilihan konsumen. Selamat datang di era pasar bebas!

Awas Ponsel Palsu!

Coba main-main ke Roxy Mas, pusat penjualan ponsel. Nongkrong di pelataran gedung pertokoan tersebut. Seperti saya, mungkin Anda akan dihampiri oleh seseorang yang hendak menjual ponsel Nokia. Yang menarik harga yang ditawarkan sangat miring. Saya ditawarkan Nokia N70 seharga Rp 980.000. Padahal harga barunya mencapai Rp 2.000.000. Nokia N73 music edition, ditawarkan Rp 1,6 juta, harga resminya Rp 3 juta. Pilihan lain ada Nokia 5310 dengan harga Rp 1,8 juta, N95 8GB seharga Rp 2,1 juta dan Nokia N95 biasa seharga Rp 2,1. Anda tidak akan mendapatkannya di toko resmi.

Bukan hanya itu. Saya juga mendengar ada orang yang menawarkan Nokia 5310 dengan harga Rp 1,4 juta. Alasannya, ini adalah barang sitaan dan dijual ke pasar melalui jalur-jalur tikus. Kabar burungnya, barang itu jumlahnya sampai satu kontainer lebih. Mengagetkan.

Terus terang, ponsel Nokia baru yang ditawarkan dengan harga kurang dari setengah harga normal membuat saya bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan pasar ponsel Indonesia. Setidaknya jikapun ini barang selundupan (masuk ke Indonesia tanpa pajak resmi), harga segitu masih terlalu murah. Harga semurah itu pasti juga belum menutup biaya produksi ponsel Nokia. Masa sih, ada yang mau jual rugi?

Selain harganya terlalu murah model penjualannya juga dilakukan dengan cara gerilya. Kabarnya bukan hanya di Roxy Mas saja ada orang-orang yang menawarkan ponsel Nokia super murah ini. Di berbagai pusat penjualan ponsel di kota-kota lain seperti Surabaya dan Bandung juga terjadi fenomena serupa. Tentu saja sebagai konsumen saya perlu hati-hati dengan barang-barang ini.

Telusur punya telusur, saya mendapatkan kabar bahwa ini adalah Nokia palsu yang didatangkan dari Cina. Saat ini hampir semua produsen ponsel memiliki pabrikan di Cina. Alasannya, biaya produksi dapat lebih murah. Tapi Cina juga dikenal sebagai surganya peniruan dan pelanggaran hak cipta. Jadi, kalau ada pabrikan kecil di sana iseng-iseng membuat ponsel persis seperti Nokia, sepertinya menjadi hal yang biasa. Saya juga pernah menemukan ponsel mirip Nokia dengan merek ’Nckia’.

Sebagai konsumen Anda perlu hati-hati dengan produk-produk ini. Soalnya, produk ini memang bukan buatan Nokia. Ini adalah produk abal-abal yang ditempeli logo Nokia dan dijual dengan harga super murah. Penampakan softwarenya memang sangat mirip. Tapi coba bandingkan kalau Anda masuk pada step ke 5, menu ponsel tersebut. Baru akan terasa bedanya.

Pornografi dan Teknologi

Saya membaca sebuah buku : 500+ Gelombang Video Porno Indonesia. Isinya mengenai bagaimana kreatifitas dan teknologi menjadikan banyak orang Indonesia, khususnya anak-anak muda, mendadak menjadi bintang. Wajahnya (dan body polosnya) tampil di berbagai situs, mengalir dari satu layar ponsel ke ponsel lainnya. Tapi, sungguh, bukan hanya anak-anak muda saja. Bintang-bintang porno amatir made in Indonesia ini bisa dikatakan tersebar dalam berbagai tingkat usia. Dari anak-anak SMP (gila, SMP!) sampai bapak-bapak pejabat. Tentu Anda masih ingat kasus seorang anggota DPR yang rekaman aksinyanya menghiasi ribuan layar ponsel. Serunya, menurut data dalam buku itu, kini diperkirakan tiap hari setidaknya ada dua mini video porno baru yang diluncurkan ke ‘pasaran’.

Sebagian besar pembuatnya berniat, bahwa film-film dewasa yang diambil dengan teknik asal ini --dengan sutradara, kameramen, aktor-aktris adalah dirinya sendiri-- hanya untuk koleksi pribadi. Tapi, di jaman ini, ketika data sudah bisa diringkus menjadi bit-bit digital, siapa yang bisa menjamin sesuatu yang diniatkan untuk konsumsi personal tetap terjaga privasinya?

Sebagian besar mini video porno itu direkam menggunakan ponsel. Yups, ponsel yang canggih selain dapat memutar video juga dapat merekam adegan. Sebagian memang kualitasnya baru asal rekam. Tetapi beberapa ponsel sudah memiliki kualitas hampir setara camcorder.

Itu artinya, jika ponsel semakin canggih, dan kreatifitas aktor-aktris amatir ini semakin liar, akan semakin banyak juga kita disuguhkan tontotan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan bahwa hal itu dapat diproduksi di Indonesia. Dengan bintang-bintang asli Indonesia! Bahkan, dari judul-judulnya terasa dekat dengan kita. Mau butki : Bandung Lautan Asmara, Jogja Membara, ABG Pontianak, Aksi Cewek Sragen dan sejenisnya.

Tapi memang kemajuan teknologi mendorong kebebasan dan membuka sekat. Tentu saja, seks sebagai sebuah wilayah penuh sekat, kini mendapat peluang untuk eksis, untuk tampil, dan ramai-ramai dinikmati. Tidak heran jika di berbagai penjual Memory Card ponsel, misalnya, kita bisa ditawari kartu memori yang sudah terisi. Sebagian adalah file berekstensi *3gp berisi koleksi video porno made in Indonesia tadi.

Industri pornografi sendiri diyakini sebagai pendorong kemajuan teknologi. Penentu kemenangan standar pita video antara VHS terhadap Betamax adalah industri pornografi! Pendorong digunakannnya DVD adalah pornografi. Sukses layanan 3G di beberapa negara juga ditentukan oleh industri pornografi! Di Indonesia, pasti operator dan pengambang konten belum berani terang-terangan menjual paha dan dada. Artinya, industri milyaran dolar ini bergerak dan tumbuh sejalan dengan kemajuan teknologi.

Membaca buku ini, saya jadi membayangkan, jika sekarang video porno made Indonesia itu masih dibuat secara amatiran, mungkin sebentar lagi akan hadir produser film-film porno professional asli Indonesia, dengan bintang orang Indonesia, setting di kamar-kamar hotel Indonesia, dan desahannya berbahasa Indonesia. Sekarang saja sudah ada cewek Indonesia yang kreatif. Dia berani tampil polos melalui webcam dengan bayaran pulsa. Tarifnya Rp 25 ribu, sekali aksi!

Menurut data situs pencari google, pengguna intrenet dari Indonesia menempati posisi ketujuh terbesar di dunia yang sering melakukan pencarian dengan kata-kata seks dan variannya. Data kasar juga menunjukan 80% pengguna warnet sering mengakses situs-situs porno padahal sebagian besar penggunanya adalah anak-anak usia sekolah. Sebuah pasar yang menggiurkan, bukan? Dan sampai saat ini tidak ada langkah konkrit dari pemerintah untuk membendung serangan virus pornografi hasil kawin silang kemudahaan teknologi, kreatifitas, kebebasan, bisnis, plus sepenggal kenorakan!

Bersaing Kok, Masih Mahal?

Mungkin Anda sekarang sudah menggunakan ponsel. Asyik. Kemana-mana bisa melakukan komunikasi. Ruang yang tadinya begitu sempit, sekarang terasa lebar. Informasi bisa dengan sekejap didapatkan dan komunikasi dengan siapa saja kapan saja dengan mudah dilakukan. Tapi, tentu dibanding dulu, kini kita perlu budget khusus untuk membiayai pola hidup menggunakan ponsel ini.

Coba kita hitung hitung-hitung lagi, berapa kira-kira pengeluaran untuk membayar pulsa ponsel Anda dalam sebulan. Iseng-iseng, bandingkan dengan penghasilan Anda. Ada yang mengatakan, rata-rata pengeluaran orang Indonesia untuk biaya selulernya bisa mengambil porsi 10% sampai 20% dari pendapatan. Ini tentu saja angka yang sangat menarik, sebab dengan proporsi sebesar itu, jelas sekali seluler telah menjadi kebutuhan pokok yang tidak dapat ditawar. Buktinya, orang rela mengeluarkan 10% sampai 20% pedapatannya untuk biaya komunikasi.

Tapi, bukan tidak mungkin hal itu bisa juga disebabkan karena mahalnya tariff seluler di Indonesia. Lembaga riset Morgan Stanley pada laporan yang diterbitkan 2006 menjelaskan, Indonesia berada di posisi nomor dua dari negara-negara emerging market yang tariff selulernya paling mahal. Posisi ini sedikit dibawah Australia. Padahal jika dibandingkan dengan total rata-rata pendapatan orang Indonesia mahalnya tariff seluler ini menjadi problem sendiri.

Tidak aneh jika Morgan Stenley melaporkan prosentase EBITDA margin (keuntungan sebelum pajak) perusahaan seluler di Indonesia menduduki posisi teratas dibanding negara-negara lainnya. Sebut saja Telkomsel yang menempati urutan pertama dan Indosat menempati urutan ke empat. Artinya prosentase tingkat keuntungan yang diraih Telkomsel dan Indosat jauh di atas operator seluler negara-negara lain. Makanya banyak orang mempertanyakan apakah keuntungan itu diraih dengan cara bisnis yang wajar? Dan apakah masyarakat Indonesia memang harus membayar pulsa sedemikian mahalnya? Jika melihat dari hasil pemeriksanaan yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), bisa disimpulkan kondisi itu disebabkan karena terjadinya persaingan tidak sehat di Industri seluler di Indonesia.

Dalam laporan hasil meperiksaan tertanggal 27 September 2007 KPPU melihat, ketidaksehatan ini terjadi karena dalam struktur kepemilikan Telkomsel dan Indosat, terdapat satu rantai komando yang ujung-ujungnya bermuara ke Temasek, sebuah lembaga investasi milik pemerintahan Singapura. Ini dibuktikan dengan adanya kesamaan personil pada posisi-posisi strategis di berbagai anak perusahaan milik mereka sampai kepada komposisi personil di Telkomsel maupun Indosat. Sebagai operator seluler terbesar pertama dan kedua di Indonesia, tentu saja keterkaitan Telkomsel dan Indosat ini dapat menjadi kekuatan pasar yang berkemampuan mendikte arah persaingan.

Apalagi dalam struktur industri telekomunikasi selain setiap operator bersaing juga terdapat kerjasama yang tidak dapat dielakan, melalui keharusan interkoneksi. Kekuatan ini yang pernah dimainkan Telkomsel, yang mensyaratkan operator lain yang ingin melakukan sambungan interkoneksi dengannya harus menetapkan tariff yang tidak boleh lebih rendah disbanding tariff Telkomsel. Meskipun klausul itu akhirnya dihapus dari perjanjian interkoneksi, ini mengindikasikan betapa persaingan di industri ini tidak mampu menarik posisi harga pada efisiensi hingga masyarakat harus membayar tariff lebih mahal.

Tentu saja berkali-kali tangkisan dilakukan STT Telemedia anak perusahaan Temasek yang memiliki Indosat dilakukan. Mereka mencoba meyakinkan bahwa meskipun bermuara pada Temasek, tetapi tidak ada pengaruh dalam konteks persaingan antara Indosat dan Telkomsel. Artinya, menurut STT Telemedia, di pasaran antara Telkomsel dan Indosat bersaing secara wajar.

Namun, hasil pemeriksaan KPPU berpendapatan lain. Jika betul kesimpulan KPPU ini, maka niat pemerintah untuk mengubah pola persaingan industri telekomunikasi dengan memisahkan Telkom dan Indosat, dengan tujuan agar terjadi persaingan sehat yang ujung-ujungnya membuat harga yang didapat masyarakat menjadi wajar bisa dikatakan gagal. Jika sebelumnya antara Telkom dan Indosat terjadi kepemilikan silang di berbagai operator seluler, kini yang kepemilikan silang itu justru dilakukan oleh Temasek.

Tidak mudah memang membuktikan apakah benar terjadi persaingan tidak sehat karena kepemilikan silang tersebut. Bahkan KPPU sendiri belum bersuara bulat, karena salah seorang anggotannya menyatakan pendapat berbeda. Namun demikian, bagi masyarakat yang paling penting adalah mendapatkan layanan yang baik dengan harga wajar. Tugas pemerintahlah untuk melindungi rakyatnya dari akal-akal pengusaha…